Teror Iklim, Bisnis Karbon Dikuak di KMAN VI

Teror Iklim, Bisnis Karbon Dikuak di KMAN VI

Oleh Filo Karundeng

Usung tema “Karbon di Wilayah Adat, Berkat atau Kutukan,” masa depan Masyarakat Adat dibahas. Polemik karbon di Indonesia dibedah di satu sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) pada Selasa (25/10/2022), di Kayo Pulo, Jayapura. “Carbon cowboy” (pebisnis karbon) diduga incar ruang hidup Masyarakat Adat.

Kebijakan dan implementasi perdagangan karbon di wilayah adat serta bagaimana Masyarakat Adat menyikapinya, menjadi topik hangat dalam sarasehan tersebut.

Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia mengatakan, jual-beli karbon di Masyarakat Adat akan memperparah konflik sumber daya alam (SDA) yang berada di wilayah adat.

“Seperti tema sarasehan ini, menurut saya, hanya satu berkat untuk Masyarakat Adat, adalah negara ini mengakui dulu wilayah Masyarakat Adat (wilayah adat), tanah, udara, dan ruang hidup,” kata Wibowo.

Sementara itu, Cindy J. Simangunsong dari EcoNusa mengatakan, perdagangan karbon menciptakan krisis iklim.

“Yang terjadi hari ini, (masyarakat) global sedang berbicara secara kencang tentang karbon. Jadi, mereka menyebut karbon ini sebagai solusi interen. Sekarang, orang-orang menganggap karbon ini sebagai solusi interen,” kata Cindy. “Tapi, jangan sampai lupa, kita harus sampai kepada solusi utama. Potong semua solusi interennya! Itu tambang, hutan, perkebunan, emisinya yang berbasis fosil itu harus nol.”

Ia menjelaskan bahwa data terakhir dari Bank Dunia tahun 2021 mencatat nilai perdagangan karbon sebesar 84 miliar dolar.

“Lalu, apa yang terjadi di 84 miliar dolar itu, ada namanya di tahun ‘80-an, sudah ada carbon cowboy. Mereka ini broker (makelar) yang datang ke perwakilan Masyarakat Adat. Mereka itu suguhkan kontrak, tapi itu bahasa Inggris. Kalau di Kolombia misalnya, mereka itu dikasih kontrak dalam bahasa Inggris dan kasih bapak tetua mabuk untuk tanda tangan. Padahal, menyerahkan hak seluruhnya kepada cowboy-cowboy ini untuk mengambil uang atas karbon mereka,” jelasnya.

“Ini saya sempat berbicara dari beberapa broker. Yang terjadi, misalnya MoU-nya berbeda, tapi mereka (tetua adat) tanda tangan itu betul. Saya tanya kepada mereka, ‘Berapa yang akan kembali kepada pemerintah atau Masyarakat Adat?’ Lalu, dia bilang, ‘Semua kami masukkan ke dana abadi, lalu 10 persen kami kembalikan ke program atau yang lain.’ Lalu, saya tanya yang 90 persen mau ke mana, mereka tidak menjawabnya. Jadi, yang terjadi dari 84 miliar dolar itu, paling banyak hanya 30 persen yang kembali kepada masyarakat sebagai pemilik lahan,” sambungnya.

Ditambahkannya, pebisnis karbon sudah banyak di Indonesia. Yang harus dilakukan adalah Masyarakat Adat memahami hutan bukan hanya karbon. Hutan adalah sumber penghidupan. Yang harus dilakukan adalah menyiapkan draf Masyarakat Adat dan tidak bisa dihentikan.

“Kita harus menyiapkan Masyarakat Adat. Yakni, pertama, proyeksi hutan dan keanekaragaman. Kedua, kepastian hak atas tanah. Ketiga, harus diatur pemanfaatannya. Keempat, Masyarakat Adat harus disiapkan karena mereka sebagai pemegang atau penerima manfaat utama,” tandasnya.

***


Leave a Reply

Your email address will not be published.