Oleh Obed Kromsian
Tokoh Masyarakat Adat di Sentani, Papua meminta makhota kebesaran raja atau keondoafian tidak dipakai sembarangan oleh siapa pun di acara-acara seremonial karena makna dan fungsinya yang sakral. Para tokoh berharap momen Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) yang akan digelar pada Oktober 2022 ini di Wilayah Adat Tabi, Jayapura, bisa merekomendasikan kepada semua pihak untuk memperhatikan hak kolektif Masyarakat Adat Papua.
Ketua Dewan Adat Suku Sentani Ondofolo Orgenes Kaway menyambut baik pelaksanaan KMAN VI di Papua. Dia berharap kegiatan lima tahunan Masyarakat Adat itu menjadi momen untuk ikut membahas bagaimana cara mempertahankan nilai-nilai adat di Papua yang telah terkikis secara universal, salah satunya penggunaan lambang kebesaran raja, yaitu mahkota cenderawasih.
Menurut Orgenes Kaway, makhota cenderawasih adalah lambang kebesaran raja dan bermakna sakral, sehingga tidak bisa digunakan secara sembarangan. Ia menegaskan siapa pun yang mengenakan simbol kebesaran raja (ondoafi) di kepalanya, akan dikenakan sanksi adat dan akan dicabut saat itu juga.
“Kami akan cabut saat itu juga jika ada yang menggunakannya sebagai pelengkap atribut Masyarakat Adat dan menjatuhkan sanksi adat langsung saat itu juga,” kata Orgenes Kaway saat diwawancarai di Kurare Obhe Kampung Bambar pada 14 September 2022.
Orgenes Kaway menerangkan bahwa cenderawasih di kepala seorang ondoafi, bukan sembarangan dipakai. Ia menambahkan, itu melalui proses yang panjang dan melalui tahapan-tahapan. Menurutnya, tidak juga semua ondoafi dapat mengenakan mahkota cenderawasih.
“Hanya ondoafi-ondoafi tertentu yang bisa dan layak memakainya,” kata Orenes Kaway.
Ia menghimbau kepada para pengrajin dan semua pihak agar tidak lagi menggunakan simbol cenderawasih sebagai perhiasan di kepala dan simbol gelang batu yang digantungkan di noken. Ia juga berharap permasalahan nilai-nilai adat yang mulai terkikis, bisa dibahas dalam KMAN VI.
“Harapannya, KMAN VI bisa merekomendasikan kepada semua pihak untuk memperhatikan hak-hak komunal orang asli (Masyarakat Adat) Papua,” ujarnya.
Selain mahkota cenderawasih, Orgenes juga menyoroti pemakaian noken yang sedang ramai digunakan saat ini. Ia menyatakan bahwa ada jenis noken yang tidak bisa digunakan sembarangan. Selain itu, simbol-simbol yang dipasang pada noken juga harus diperhatikan.
“Ada noken yang digantung dengan manik-manik dan gelang batu. Itu tidak bisa dipakai sembarangan,” kata Orgenes Kaway. “Kita bicara kebangkitan Masyarakat Adat, maka harus benar-benar mengubah semua kebiasaan buruk yang menghancurkan identitas keaslian kita.”
Orgenes berharap semoga permasalahan tersebut menjadi perhatian kita semua sebab di situlah jati diri kami selaku Masyarakat Adat Papua.
“Di situlah, harga diri kami. Kalau dipakai sembarang saja, maka sama dengan mendiskriminasi hak-hak dasar kami. Kami pasti akan tegas untuk bagian ini,” tandasnya.
***
Penulis adalah jurnalis rakyat dari Masyarakat Adat Papua di Jayapura, Papua.