Oleh Alusin
Sarasehan dalam rangkaian Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) di Kampung Sereh, Kabupaten Jayapura, Papua, mengambil topik “Praktik-praktik Demokrasi Masyarakat Adat: Peluang dan Tantangannya” pada pukul 10.30-16.00 WIT. Sarasehan terselenggara dengan baik.
Erasmus Cahyadi dari AMAN, sangat mengapresiasi semangat peserta yang luar biasa. Ia berharap semangat hari itu akan dapat terus ada selama KMAN VI berlangsung dan selanjutnya.
Eras menjelaskan bahwa Papua itu ada konteks otonomi khusus. Menurutnya, berbagai usulan berangkat dari kekecewaan Masyarakat Adat sendiri yang bisa menunjukkan untuk maju.
“Kalau kekecewaan itu ada, mengapa kita tidak mendorong,” ungkapnya. Ia juga bilang bahwa kita telah mendorong penetapan Masyarakat Adat ke dalam Undang-Undang (UU), di mana Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang ditetapkan itu versi yang sekarang di DPR dengan organisasi-organisasi masyarakat kecil yang tergabung dalam Koalisi RUU Masyarakat Adat.
“Waktu itu, kita usulkan perubahan draf yang sekarang itu belum diakomodasi,” ucap Eras. “Itu adalah proses politik bahwa harus ada Perda tersendiri… Banyak sekali persyaratan yang dibebankan kepada Masyarakat Adat.”
Eras melanjutkan, “Supaya lebih mudah dipantau, pintu kedua yang kita mau dorong (adalah) penetapan pengadilan dari Masyarakat Adat… membawa berkas-berkas identifikasi keberadaan dirinya ke pengadilan dan minta pengadilan ditetapkan hak-hak tradisional, hak-hak asal-usulnya… Suatu prosedur yang rumit. Siapa dan di mana Masyarakat Adat itu, ya itu yang kita tidak kehendaki. Perda dan SK Bupati itu masih relevan, tapi bukan produk pengakuan, pemberdayaan, dan perlindungan. Merancang program pembangunan di daerah, perlu Perda…. Sekarang, Masyarakat adat diakui lewat Perda. Menurut saya, itu permasalahan,” ucap Eras saat diwawancara di Kampung Sereh.
***
Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat Papua.