Oleh Irma
Unsyah Aqmal, demikian dia mengenalkan namanya ketika saya datangi pondok-pondok UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) yang menjadi tempat Masyarakat Adat menjual hasil kerajinan tangan maupun produk-produk herbal hasil karya ibu- ibu maupun komunitas-komunitas Masyarakat Adat di sepanjang lintasan lapangan sepak bola di Stadion Barnabas Youwe, tempat dilaksanakannya Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI).
Unsyah adalah salah satu peserta KMAN VI tersebut mewakili Sekolah Adat Laskar Sembulun Lembah Rinjani. Kesehariannya merupakan guru di sekolah adat sekaligus penggerak dalam dalam kelompok UMKM di tempat tinggalnya di Nusa Tenggara Barat, tepatnya di kawasan lereng Gunung Renjani.
“Di sekolah adat, kami mengajar tentang menenun dan juga menari,” ujarnya.
Siswa-siswanya berasal dari berbagai tingkatan usia, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga orang dewasa.
Siapa yang mau gabung dan belajar, silakan mendaftar dan mengikuti proses belajarnya, katanya. Di sekolah adat, waktu belajar pun tidak tiap hari dan tidak mengganggu anggota atau siswa yang masih belajar di sekolah formal.
Selain mengajar, Unsya juga ada dalam kelompok wanita tani maupun UMKM lokal yang mengolah tanaman bawang putih menjadi produk herbal untuk kesehatan.
“Daerah kami penghasil bawang putih,” katanya.
Hasil pertanian atau perkebunan di sana memang baik. Selain tanah yang subur, udaranya pun sejuk di sekitar lereng dan bukit.
Ia bilang, mereka membuat produk herbal dari bawang putih dengan proses yang sangat sederhana.
Setelah panen, bawang putih akan dijemur selama sebulan agar benar-benar kering. Kemudian, ungkap Unsya, kami akan masukkan ke dalam oven. “Oven yang kami gunakan adalah tempat masak nasi atau rice cooker. Itu akan kami panaskan selama sebulan. Hasilnya, memiliki tiga rasa yang berbeda: asam, manis, juga pahit,” jelasnya.
Ia dan rombongannya datang mengikuti KMAN VI. Selain menjual produk bawang putih yang populer dikenal dengan black garlic, mereka juga menjual hasil tenun.
“Alhamdulillah, untuk hasil tenun, sudah laku banyak. Dan, sepertinya pengunjung lebih tertarik dengan sovenir dari kain,” katanya.
***
Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat Papua.