Oleh Eka Egeten
Situasi dan tantangan ruang hidup Masyarakat Adat yang berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dibedah dalam sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN IV) pada Rabu (26/10/2022) di Pulo Kayo, Kota Jayapura, Papua.
Disebut bahwa sistem lokal tradisional atas pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjamin kesejahteraan Masyarakat Adat dan keberlanjutan ekologis, menjadi model-model yang dapat diidentifikasi, dipromosikan, dan diadopsi oleh negara.
Jerfy Mobalen mengatakan, berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami, peran Masyarakat Adat dalam mengelola pesisir laut, berhadapan dengan permasalahan kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada Masyarakat Adat. Menurutnya, Masyarakat Adat di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat misalnya, memiliki kearifan dalam menjaga laut dan melihat laut sebagai ruang hidup, termasuk sumber pendapatan ekonomi.
“Di Malaumkarta pada beberapa tahun silam, lautnya sangat kaya dengan potensi yang ada. Pada 1990-an, terlihat ada ancaman karena masuk mengikuti gerakan globalisasi kehidupan manusia,” katanya.
Diceritakannya bahwa secara khusus di Kabupaten Sorong, ancaman terhadap ruang laut kalau dibiarkan, maka generasi yang akan datang tidak akan merasakan itu.
“Oleh karena itu, kami Masyarakat Adat melakukan egek atau konservasi tradisional yang sudah diwariskan oleh leluhur. Oleh karena itu, tahun 2003, dengan adanya kegiatan egek ini, kami mampu mengelola sumber kekayaan laut,” terangnya.
Ditambahkannya bahwa Masyarakat Adat di Kampung Malaumkarta bisa membuktikan hasil pendapatan laut dengan membangun gereja murni dari hasil pendapatan Masyarakat Adat.
“Hal ini bisa terjadi dan menjadi contoh terbaik ketika mempraktikkan kearifan lokal yang diwariskan leluhur, kekayaan alam bisa pergunakan sebaik mungkin,” tandasnya.
Sementara itu, Asmar Exwar dari Jaringan Nusa, mengatakan bahwa tantangan Masyarakat Adat di wilayah pesisir, berhadapan dengan dua kondisi, yakni perubahan iklim sebagai ancaman dan kebijakan pembangunan yang tidak pro dengan Masyarakat Adat di pesisir.
“Anomali cuaca sekarang ini, – antara panas, hujan dan suhu tinggi – sudah sulit diprediksi. Tentu, hal ini berpengaruh kepada masyarakat di wilayah pesisir. Tingkat abrasi sangat tinggi dengan adanya banjir rob yang memberikan dampak kepada masyarakat,” katanya.
Ditambahkannya, selain ancaman anomali cuaca, Masyarakat Adat juga mengalami ancaman yang lebih besar dari industri ekstraktif.
“Tidak hanya pulau-pulau besar, tapi juga pulau-pulau kecil (yang berada di sekitar) Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sebagai wilayah yang diekspansi oleh industri ekstraktif,” jelasnya.
Dibeberkannya bahwa industri pertambangan juga masuk ke wilayah pulau-pulau kecil.
“Di Pulau Sangihe, dialokasi sebagai wilayah tambang yang dikelola oleh PT MSM. Di pulau-pulau di Maluku Utara (Malut), ekspansi tambang sudah tampak. Ini sangat mengancam eksistensi Masyarakat Adat dan menggangu kestabilan ekosistem,” bebernya.
Selain itu, pembangunan infrastruktur, seperti pariwisata, menciptakan konflik dengan pulau-pulau kecil.
“Wilayah reklamasi dan tambang pasir laut, misalnya di Sulawesi Selatan (Sulsel), ada pembangunan infrastruktur di sekitar daerah itu, pasirnya diambil di ruang laut. Ini ada beberapa ton pasir yang diambil di ruang laut. Dan, itu berada di wilayah-wilayah tangkapan nelayan, sehingga merusak wilayah tangkapan. Selain menghancurkan, wilayah tersebut dapat merasakan dampak abrasi atau semakin kuat dan pengaruh gelombang laut. Ini memperparah kondisi masyarakat,” terangnya.
Lebih lanjut, pengelolaan wilayah pesisir masih membutuhkan upaya dan beberapa hal yang perlu direncanakan.
“Pertama, dari segi hukumnya dan kedua, ruang kelolanya. Kalau di wilayah pesisir, ruang laut harus menjadi wilayah adat. Ini yang menjadi hal yang harus dilakukan. Wilayah adat harus diakui! Kalau ada aturan, wilayah masyarakat adat harus masuk di situ,” tandasnya.
***
Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat dan penggerak Sekolah Adat Waraney Wuaya.